
Anggota Komisi I DPRD PPU, Muhammad Bijak Ilhamdani.
SumberNusantara, PENAJAM – Komisi I DPRD Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) mendorong pembentukan peraturan daerah (perda) terkait toko modern, seiring pesatnya perkembangan wilayah akibat kehadiran Ibu Kota Nusantara (IKN).
Hal ini disampaikan Anggota Komisi I DPRD PPU, Muhammad Bijak Ilhamdani, usai rapat kerja bersama sejumlah pihak terkait.
Menurut Bijak, hingga saat ini belum ada regulasi khusus dalam bentuk perda yang secara komprehensif mengatur keberadaan toko modern di wilayah PPU. Regulasi yang digunakan masih mengacu pada Peraturan Bupati (Perbup) yang terakhir direvisi pada 2017.
“Penajam Paser Utara sampai hari ini belum memiliki perda khusus terkait toko modern. Yang ada hanyalah Perbup yang mulai disusun pada 2015 dan terakhir direvisi pada 2017. Artinya, sudah tujuh tahun tidak mengalami pembaruan. Ini jelas tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini,” ujar Bijak, Sabtu (5/7/2025).
Ia menjelaskan, keberadaan toko modern selama ini menjadi keluhan sebagian masyarakat, terutama terkait perizinan dan dampaknya terhadap pelaku usaha kecil serta toko tradisional.
Oleh karena itu, Komisi I sebagai mitra kerja bidang perizinan merasa perlu mendorong regulasi yang lebih kuat dan adaptif terhadap perkembangan ekonomi lokal.
Dalam rapat tersebut, Komisi I meminta Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Perindustrian, dan Perdagangan (Diskukmperindag), serta Bagian Hukum Setkab PPU untuk segera merumuskan kebijakan baru dalam bentuk perda.
Perda tersebut diharapkan dapat mengatur secara jelas klasifikasi, pembatasan, hingga program kemitraan antara toko modern dan pelaku UMKM lokal.
“Ada klasifikasi toko modern yang harus dibedakan. Toko modern lokal yang merupakan hasil transformasi dari toko tradisional tentu tidak bisa diperlakukan sama dengan toko modern berwaralaba milik investor luar,” tegas Bijak.
Ia mencontohkan beberapa toko lokal seperti PJA dan Ujung Pandang, yang awalnya merupakan toko tradisional namun kini telah berkembang menjadi toko modern lokal.
Menurutnya, toko seperti ini memerlukan kebijakan relaksasi perizinan yang berbeda dibandingkan toko waralaba berskala nasional maupun internasional.
Bijak menekankan pentingnya penyusunan kajian ekonomi daerah sebagai dasar dalam perumusan perda. Kajian ini diperlukan untuk mengukur daya serap ekonomi lokal terhadap keberadaan toko modern, termasuk dari sisi tenaga kerja dan potensi kemitraan dengan UMKM sekitar.
“Kita belum punya kajian potensi ekonomi daerah. Ini penting untuk mengukur sejauh mana kemampuan kita dalam menerima toko modern dan dampaknya. Tidak bisa serta-merta meniru daerah lain, karena PPU punya karakteristik tersendiri,” ujarnya.
Ia menilai, keberadaan toko modern, jika dikelola dengan baik, justru dapat memberikan dampak positif, seperti membuka lapangan kerja. Sebagai contoh, satu unit toko modern waralaba mampu menyerap hingga 15 tenaga kerja dengan penghasilan sesuai Upah Minimum Regional (UMR).
Meski demikian, Bijak mengingatkan bahwa penyusunan naskah akademik untuk perda membutuhkan waktu yang tidak singkat. Proses ini harus melibatkan pihak ketiga yang kredibel dan independen dalam menyusun kajian.
“Kami di DPRD sifatnya menunggu. Apakah perda ini nantinya menjadi inisiatif pemerintah atau DPRD, itu akan dibahas bersama. Namun, karena ini sudah masuk pertengahan tahun dan pembahasan perda biasa dilakukan pada September, waktu kita cukup terbatas,” ungkapnya.
Ia berharap, dengan adanya perda baru, keberadaan toko modern dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat lokal tanpa menggerus eksistensi toko tradisional maupun pelaku UMKM. (Adv)