
Kepala Bagian (Kabag) Hukum, Pemkab Penajam Paser Utara (PPU), Pitono.
SumberNusantara, PENAJAM – Kepala Bagian (Kabag) Hukum, Pemkab Penajam Paser Utara (PPU), Pitono mengungkapkan penyelesaian tapal batas antarwilayah masih menjadi tantangan menjelang penetapan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ditargetkan rampung tahun ini.
Meskipun proses penyusunan legal draft sejumlah regulasi seperti peraturan bupati (perbup) telah berjalan baik, kendala teknis kerap muncul pada isu batas wilayah, khususnya batas administratif antar kecamatan di dalam kabupaten.
“Untuk dokumen hukum dan proses harmonisasi sudah kami selesaikan sesuai mekanisme Permendagri Nomor 120 Tahun 2018. Namun, yang menjadi tantangan adalah penyelesaian tapal batas antar-kecamatan, seperti antara Kecamatan Penajam dan Kecamatan Waru,” jelas Pitono, Senin (30/6/2025).
Tapal batas yang belum final berdampak langsung pada keterlambatan pengesahan RTRW. RTRW sendiri merupakan dokumen strategis tata ruang yang wajib memiliki kejelasan batas wilayah sebagai prasyarat penyusunan zonasi ruang.
“Kami menargetkan penyelesaian seluruh tapal batas pada bulan September 2025. Karena salah satu syarat utama RTRW adalah seluruh batas wilayah, baik internal maupun eksternal kabupaten, sudah harus clear,” tegas Pitono.
Proses penyelesaian tapal batas mengikuti skema harmonisasi dan fasilitasi sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 45 Tahun 2016 dan Nomor 120 Tahun 2018.
Diawali dengan pengusulan dari pemerintah desa atau kecamatan, dokumen kemudian diharmonisasikan oleh Bagian Hukum Setkab bersama Kanwil Kementerian Hukum dan HAM, lalu dilanjutkan dengan fasilitasi oleh Biro Hukum Provinsi.
Setelah seluruh tahapan itu terpenuhi, tapal batas akan ditetapkan melalui Peraturan Bupati atau Keputusan Mendagri jika bersinggungan antar-daerah.
“Kami mengaji peraturan secara detail. Setelah harmonisasi selesai dan hasil fasilitasi keluar, baru kami ajukan penetapan. Untuk kasus seperti Girimukti dan Sidorejo, proses ini sedang berjalan,” jelasnya.
Pitono menegaskan bahwa isu yang sedang ditangani bukanlah pemekaran wilayah, melainkan murni penegasan tapal batas.
“Pemekaran desa atau kelurahan adalah urusan berbeda. Yang kami tangani saat ini adalah batas administratif yang sudah ada, namun perlu kejelasan secara hukum,” ujarnya.
Ia menambahkan, selama ini kendala lebih banyak muncul pada batas antar-kecamatan ketimbang batas antar-desa. Batas antar-desa cenderung lebih mudah diselesaikan karena bersifat internal dan memiliki cakupan yang lebih kecil.
Selain batas internal, Pemkab PPU juga masih memiliki persoalan batas eksternal, seperti batas wilayah dengan Kabupaten Paser. Menurut Pitono, sudah ada proses fasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri, namun hingga kini belum tercapai kesepakatan final.
“Antara kita dan Kabupaten Paser sudah difasilitasi. Namun, kami sepakat untuk tidak sepakat. Kami masih menunggu keputusan resmi dari Mendagri,” ungkapnya.
Pitono berharap pemerintah pusat dapat bersikap adil dan tegas dalam penyelesaian batas wilayah, terutama mengingat pengalaman sebelumnya pada kasus batas dengan Kota Balikpapan yang merugikan pihak PPU.
“Dulu kita dirugikan dalam Peraturan Mendagri Nomor 48 Tahun 2012 terkait batas dengan Balikpapan. Bahkan kita sempat ajukan judicial review ke Mahkamah Agung. Jangan sampai hal serupa terulang,” pungkasnya. (Adv)